Kepolisian di Surabaya mengungkap prostitusi kalangan remaja perempuan atau yang kerap disebut ABG (anak baru gede) melalui facebook. Anak-anak ini masih duduk di bangku SMA.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tamagola mencoba memetakan persoalan mengapa seorang remaja mau terjun dalam dunia prostitusi.
Dia mengatakan ada beberapa penelitian dan paper di UI yang mengupas praktek jual diri di kalangan anak sekolah. "Dalam beberapa paper, anak remaja itu menganggap melakukan hubungan seksual untuk mendapat uang itu hal yang biasa saja.
Dalam benak mereka, para orang tua saja yang menilai seks itu menyimpang," kata Thamrin dalam perbincangan dengan VIVAnews, Senin 1 Februari 2010.
Praktek jual diri para ABG, kata dia, sebetulnya sudah lama ada sebagai masalah sosial di Indonesia, bahkan dunia. "Seperti fenomena puncak gunung es," kata dia.
Dari hasil beberapa penelitian, Thamrin menyimpulkan pelacuran di lingkungan anak sekolah disebabkan adanya pertemuan antara 'perjuangan untuk pengakuan' dan 'fasilitas.'
"Dalam kasus Surabaya, pertama kita bicarakan fasilitas, yakni Internet," kata dia. Perkembangan digital membuat dunia global makin tergenggam dalam satu masyarakat jaringan (network society). "Ini adalah suatu komunitas internasional sangat kuat terhubung kemana-mana dan memiliki tingkat keakraban komunitas yang saling mengenal," kata dia.
Kaum muda menganggap perkembangan teknologi digital ini identik dengan generasi mereka. "Orang tua itu kan gaptek (gagap teknologi)," kata dia. Memang, dalam urusan teknologi ini, orang tua gaptek sama sekali tidak bisa masuk ke dunia cyber si anak.
Dunia maya ini memberikan akses bagi kaum muda, terutama remaja, untuk mencari jati diri dengan pengakuan. "Dari jaringan sosial itu, mereka bisa punya teman baru."
Kedua, masuk dalam masalah perjuangan untuk pengakuan. Di lingkungan remaja, kata dia, akan terbagi tiga kelas yakni kelas tinggi (kaya), menengah dan bawah (miskin). "Kelas menengah ini yang paling rawan karena mereka akan mencoba keluar dari kelas miskin dan masuk ke kelas kaya tapi uang tidak cukup," jelasnya.
Simbol-simbol pengakuan untuk jadi kaya, seperti memiliki telepon genggam, akses jaringan internet, kosmetik, baju baru, dan sebagainya memaksa remaja dari kelas menengah mencari uang sendiri.
"Perjuangan mencari pengakuan itu ada di remaja perempuan maupun laki-laki namun paling kuat tuntutannya di remaja perempuan," kata dia.
Thamrin mengungkapkan sebuah warnet di Mataram selalu penuh oleh anak SMP dan SMA di jam sekolah. "Untuk akses internet anak kan harus merogok kocek puluhan ribu sehari," kata dia.
Dari dua hal itu, ada sejumlah oknum yang membaca celah ini dan menawarkan para remaja tanggung untuk masuk dalam dunia prostitusi. Tentu saja, iming-iming uang dengan cara mudah adalah hal yang menggiurkan.
"Penggunaan dunia maya sebagai salat satu alat komunikasi pengguna dan penyedia seks sebenarnya sudah ada. Yang terbaru mungkin melalui facebook tadi," kata dia.